Ramai Tagar #prayforborobudur, Ini Alasan dan Persoalannya

POTRET MAGELANG
11 Sep 2024 09:36
2 menit membaca

Potret Magelang – Borobudur. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) menolak rencana pemasangan chattra di Candi Borobudur yang kabarnya akan dilakukan pada 18 September mendatang.
“IAAI menolak rencana tersebut karena kajian yang dilakukan oleh BRIN yang dijadikan dasar pemasangan chattra tersebut, menurut IAAI tidak memenuhi aspek akademis dan prosedur,” ujar Ketua IAAI Marsis Sutopo dalam sebuah keterangan, Selasa (10/9).

Dalam keterangannya, Marsis menyebut pihaknya melihat pemasangan Chattra tidak berdasarkan bukti ilmiah, tetapi hanya mereka-reka.
Seperti di lansir dari situs CNN Indonesia bahwa prosedur kajian tidak sesuai dengan aturan yang tertuang dalam UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Merespons rencana pemasangan tersebut, Marsis mengatakan pihaknya akan secara resmi berkirim surat kepada Menteri Agama serta Direktur Jenderal terkait, Mendikbudristek serta Direktur Jenderal Kebudayaan, Menko Marinves, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai bentuk penolakan IAAI atas rencana pemasangan tersebut.

Pernyataan IAAI ini merespons rencana peresmian pemasangan chattra CandiBorobudur yang menurut informasi di media sosial akan dilakukan pada tanggal 18 September 2024. Pemasangan ini juga dikabarkan akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

Kajian tak sesuai standar
Pakar Warisan Budaya Daud Aris Tanudirjo menyebut cacat prosedur yang paling fatal dari pemasangan Chattra ini adalah Kajian Dampak Cagar Budaya. Menurutnya, proses dan kualitasnya belum sesuai standar.

“Kalau menurut saya, bagian yang paling penting sebenarnya di Kajian Dampak Cagar Budaya. Baik dalam proses maupun kualitasnya belum sesuai dengan standar yang ada,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Daud, ada sejumlah prosedur yang kurang tepat dalam kajian tersebut yang seharusnya mengacu pada Undang-undang Cagar Budaya.

Proses yang benar harusnya meliputi studi kelayakan rencana pelaksanaan, diikuti studi teknis yang lebih rinci. Kemudian, hasilnya diajukan sebagai proposal untuk pemasangan chattra kepada otoritas, dalam hal ini Kemendikbudristek, lalu dilakukan Kajian Dampak Cagar Budaya oleh tim independen.

Lalu, hasil disosialisasikan ke publik atau konsultasi publik untuk mendapat persetujuan. Jika sudah disepakati, maka hasil diserahkan ke Kemendikbud untuk dikaji Kembali, dan kemudian dikonsultasikan ke UNESCO sesuai dengan prosedur World Heritage. “Jika semua sudah OK, akan dikeluarkan izin pemasangannya,” tuturnya.

Daud juga menyoroti proses kajian yang tidak netral dan cenderung ada “arahan” mendukung pemasangan Chattra. “Padahal kajian seharusnya “objektif” atau “bertitik tolak dari asumsi yang netral,” pungkasnya. (AZh)