Axcel telah mengenal dunia tari sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Minatnya makin terarah ketika ia bergabung dengan Saleho Karya Budaya, sanggar binaan Abah Lala, pada tahun 2019 saat masih kelas 3 SMP. Di sinilah ia menempa diri, belajar teknik, karakter, dan filosofi tari tradisi secara lebih mendalam.
Nama Axcel melambung ketika tarian Nyai Bendolegi yang ia bawakan mendadak viral di berbagai platform media sosial. Perpaduan antara gerak energik, ekspresi tajam, serta karakter mistis yang kuat membuat banyak orang terpesona. Videonya ramai dibagikan ulang, hingga mendorong lonjakan pengikut di Instagram dan TikTok yang kini mencapai ratusan ribu follower.
Bagi sang pelatih, Abah Lala, apa yang terjadi pada Axcel adalah bukti bahwa seni tradisi masih relevan dengan generasi masa kini.
“Anak muda seperti Axcel itu aset. Ia bukan hanya menari, tapi membawa nama budaya kita ke ruang-ruang baru. Viral itu bonus, yang utama adalah semangatnya menjaga pakem,” ujar Abah Lala.

Meski dikenal publik dan sering mendapat undangan pentas, Axcel tetap menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Ia saat ini berstatus mahasiswi semester 5 Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan harus membagi waktu antara kuliah dan jadwal tampil.
“Kadang capek, tapi menari itu rumah saya. Selama bisa membagi waktu, saya ingin dua-duanya jalan,” kata Axcel.
Fenomena Axcel tidak hanya menghadirkan sosok penari muda berbakat, tetapi juga menggambarkan bagaimana warisan budaya dapat bertemu dengan algoritma digital. Tarian tradisi yang biasa hadir di panggung kini bisa menjangkau jutaan mata dalam hitungan detik, sekaligus membuka ruang baru bagi regenerasi seni.
Axcel menjadi salah satu wajah optimisme itu—bahwa seni tradisional bukanlah warisan yang pudar, tetapi hidup, berdenyut, dan diteruskan oleh anak-anak muda yang mencintainya.(Azh)